Selamat Hari Keluarga Nasional 2021 !

Tema hari keluarga Nasional tahun 2021 ini adalah “keluarga Keren Cegah Stunting” dengan Hastag #KELUARGAINDONESIACEGAHSTUNTING

0
492
keluarga vivit dina
momen kebersaman bersama keluarga adalah hal paling berharga di dunia (foto : vivit dina)

Hari ini, kita memperingati Hari Keluarga Nasional 2021. Harganas pertama kali diinisiasi oleh ketua BKKBN di era Presiden Soeharto, yaitu Haryono Suyono. Usulan ini disambut baik oleh pemerintahan kala itu dan mulai dirayakan sejak 1993.

Terdapat makna mendalam dari dipilihnya tanggal 29 Juni sebagai Harganas. Beberapa waktu setelah Indonesia mengumumkan kemerdekaan di 1945, situasi nasional belum juga kondusif. Kondisi tersebut memaksa masyarakat Indonesia dihadapkan dengan wajib militer untuk mempertahankan kemerdekaan. Banyak masyarakat yang terpisah dengan keluarga karena dipanggil ke medan perang saat itu. Kemudian, pada 22 Juni 1949, Belanda akhirnya menyerahkan kedaulatan bangsa Indonesia secara utuh. Perang berakhir dan para pejuang mulai kembali kepada keluarganya.

Peristiwa kembalinya para pejuang untuk berkumpul kembali dengan keluarganya tercatat pada satu minggu setelah kedaulatan Indonesia diberikan, yaitu 29 Juni 1949.

Adapun tema hari keluarga Nasional tahun 2021 ini adalah “keluarga Keren Cegah Stunting” dengan Hastag #KELUARGAINDONESIACEGAHSTUNTING.

Kejadian balita pendek atau biasa disebut dengan stunting merupakan salah satu masalah gizi yang dialami oleh balita di dunia saat ini. Pada tahun 2017 22,2% atau sekitar 150,8 juta balita di dunia mengalami stunting. Namun angka ini sudah mengalami penurunan jika dibandingkan dengan angka stunting pada tahun 2000 yaitu 32,6%. Pada tahun 2017, lebih dari setengah balita stunting di dunia berasal dari Asia (55%) sedangkan lebih dari sepertiganya (39%) tinggal di Afrika. Dari 83,6 juta balita stunting di Asia, proporsi terbanyak berasal dari Asia Selatan (58,7%) dan proporsi paling sedikit di Asia Tengah (0,9%). Data prevalensi balita stunting yang dikumpulkan World Health Organization (WHO), Indonesia termasuk ke dalam negara ketiga dengan prevalensi tertinggi di regional Asia Tenggara/South-East Asia Regional (SEAR). Rata-rata prevalensi balita stunting di Indonesia tahun 2005-2017 adalah 36,4%.

Sementara itu, di Kabupaten Rembang masih ada 26% bayi stunting berdasarkan data Riskesda 2018. Dalam rilisnya pada bulan Oktober 2019, Pemerintah Kabupaten Rembang mencanangkan target prosentase Stunting adalah dibawah 20% pada tahun 2020. Target menurunkan stunting tersebut mestinya harus dibarengi dengan program kerja yang serius dari pemerintah Daerah.

Tidak hanya menjadi domain pemerintah, lingkungan masyarakat kita, terutama dalam lingkup paling kecil, yaitu keluarga harus berusaha mencegah terjadinya stunting. Banyak hal yang bisa kita lakukan dalam pencegahan stunting. Peran kemandirian kita justru menjadi faktor paling penting untuk mengurangi kejadian stunting di lingkungan sekitar kita.

Definisi Stunting (kerdil) adalah kondisi dimana balita memiliki panjang atau tinggi badan yang kurang jika dibandingkan dengan umur. Kondisi ini diukur dengan panjang atau tinggi badan yang lebih dari minus dua standar deviasi median standar pertumbuhan anak dari WHO. Balita stunting termasuk masalah gizi kronik yang disebabkan oleh banyak faktor seperti kondisi sosial ekonomi, gizi ibu saat hamil, kesakitan pada bayi, dan kurangnya asupan gizi pada bayi. Balita stunting di masa yang akan datang akan mengalami kesulitan dalam mencapai perkembangan fisik dan kognitif yang optimal. Kejadian balita stunting (pendek) merupakan masalah gizi utama yang dihadapi Indonesia. Berdasarkan data Pemantauan Status Gizi (PSG) selama tiga tahun terakhir, stunting memiliki prevalensi tertinggi dibandingkan dengan masalah gizi lainnya seperti gizi kurang, kurus, dan gemuk.

Prevalensi balita pendek mengalami peningkatan dari tahun 2016 yaitu 27,5% menjadi 29,6% pada tahun 2017. Survei PSG diselenggarakan sebagai monitoring dan evaluasi kegiatan dan capaian program. Berdasarkan hasil PSG tahun 2015, prevalensi balita pendek di Indonesia adalah 29%. Angka ini mengalami penurunan pada tahun 2016 menjadi 27,5%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat menjadi 29,6% pada tahun 2017. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2007 menunjukkan prevalensi balita pendek di Indonesia sebesar 36,8%. Pada tahun 2010, terjadi sedikit penurunan menjadi 35,6%. Namun prevalensi balita pendek kembali meningkat pada tahun 2013 yaitu menjadi 37,2%. Prevalensi balita pendek selanjutnya akan diperoleh dari hasil Riskesdas tahun 2018 yang juga menjadi ukuran keberhasilan program yang sudah diupayakan oleh pemerintah.

Kondisi kesehatan dan gizi ibu sebelum dan saat kehamilan serta setelah persalinan mempengaruhi pertumbuhan janin dan risiko terjadinya stunting. Faktor lainnya pada ibu yang mempengaruhi adalah postur tubuh ibu (pendek), jarak kehamilan yang terlalu dekat, ibu yang masih remaja, serta asupan nutrisi yang kurang pada saat kehamilan. Menurut Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 97 Tahun 2014 tentang Pelayanan Kesehatan Masa sebelum Hamil, Masa Hamil, Persalinan, dan Masa sesudah Melahirkan, Penyelenggaraan Pelayanan Kontrasepsi, serta Pelayanan Kesehatan Seksual, faktor-faktor yang memperberat keadaan ibu hamil adalah terlalu muda, terlalu tua, terlalu sering melahirkan, dan terlalu dekat jarak kelahiran. Usia kehamilan ibu yang terlalu muda (di bawah 20 tahun) berisiko melahirkan bayi dengan berat lahir rendah (BBLR). Bayi BBLR mempengaruhi sekitar 20% dari terjadinya stunting. Prevalensi balita sangat pendek dan pendek usia 0-59 bulan di Indonesia tahun 2017 adalah 9,8% dan 19,8%. Kondisi ini meningkat dari tahun sebelumnya yaitu prevalensi balita sangat pendek sebesar 8,5% dan balita pendek sebesar 19%.

Dari sisi asupan gizi, 32% remaja putri di Indonesia pada tahun 2017 berisiko kekurangan energi kronik (KEK). Sekitar 15 provinsi memiliki persentase di atas rata-rata nasional. Jika gizi remaja putri tidak diperbaiki, maka di masa yang akan datang akan semakin banyak calon ibu hamil yang memiliki postur tubuh pendek dan/atau kekurangan energi kronik. Hal ini akan berdampak pada meningkatnya prevalensi stunting di Indonesia. Persentase Wanita Usia Subur (WUS) yang berisiko KEK di Indonesia tahun 2017 adalah 10,7%, sedangkan persentase ibu hamil berisiko KEK adalah 14,8%. Asupan gizi WUS yang berisiko KEK harus ditingkatkan sehingga dapat memiliki berat badan yang ideal saat hamil. Sedangkan untuk ibu hamil KEK sudah ada program perbaikan gizi yang ditetapkan pemerintah yaitu dengan pemberian makanan tambahan berupa biskuit yang mengandung protein, asam linoleat, karbohidrat, dan diperkaya dengan 11 vitamin dan 7 mineral sesuai dengan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 51 Tahun 2016 tentang Standar Produk Suplementasi Gizi.

Kekurangan energi kronik disebabkan oleh asupan energi dan protein yang tidak mencukupi. Kecukupan konsumsi energi ibu hamil dihitung dengan membandingkan dengan Angka Kecukupan Energi (AKE) yang dikategorikan menjadi: 1. Defisit jika kurang dari 70% AKE. 2. Defisit ringan antara 70 – 79% AKE. 3. Cukup antara 80 – 119% AKE. 4. Lebih jika 120% AKE atau lebih. Kecukupan konsumsi protein ibu hamil dihitung dengan membandingkan dengan Angka Kecukupan Protein (AKP) yang dikategorikan menjadi: 1. Defisit jika kurang dari 80% AKP 2. Defisit ringan antara 80-99% AKCukup jika 100% AKP atau lebih Berdasarkan PSG tahun 2016, 53,9% ibu hamil mengalami defisit energi dan 13,1% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 51,9% ibu hamil mengalami defisit protein dan 18,8% mengalami defisit ringan. Hal ini menunjukkan bahwa separuh ibu hamil di Indonesia masih belum terpenuhi kebutuhan energi dan protein.

Nutrisi yang diperoleh sejak bayi lahir tentunya sangat berpengaruh terhadap pertumbuhannya termasuk risiko terjadinya stunting. Tidak terlaksananya inisiasi menyusu dini (IMD), gagalnya pemberian air susu ibu (ASI) eksklusif, dan proses penyapihan dini dapat menjadi salah satu faktor terjadinya stunting. Sedangkan dari sisi pemberian makanan pendamping ASI (MP ASI) hal yang perlu diperhatikan adalah kuantitas, kualitas, dan keamanan pangan yang diberikan. Pada tahun 2017, secara nasional persentase bayi baru lahir yang mendapat IMD sebesar 73,06%, artinya mayoritas bayi baru lahir di Indonesia sudah mendapat inisiasi menyusu dini.

Asupan zat gizi pada balita sangat penting dalam mendukung pertumbuhan sesuai dengan grafik pertumbuhannya agar tidak terjadi gagal tumbuh (growth faltering) yang dapat menyebabkan stunting. Pada tahun 2017, 43,2% balita di Indonesia mengalami defisit energi dan 28,5% mengalami defisit ringan. Untuk kecukupan protein, 31,9% balita mengalami defisit protein dan 14,5% mengalami defisit ringan.

Untuk memenuhi kecukupan gizi pada balita, telah ditetapkan program pemberian makanan tambahan (PMT) khususnya untuk balita kurus berupa PMT lokal maupun PMT pabrikan yaitu biskuit MT balita. Jika berat badan telah sesuai dengan perhitungan berat badan menurut tinggi badan, maka MT balita kurus dapat dihentikan dan dilanjutkan dengan makanan keluarga gizi seimbang.

Kondisi sosial ekonomi dan sanitasi tempat tinggal juga berkaitan dengan terjadinya stunting. Kondisi ekonomi erat kaitannya dengan kemampuan dalam memenuhi asupan yang bergizi dan pelayanan kesehatan untuk ibu hamil dan balita. Sedangkan sanitasi dan keamanan pangan dapat meningkatkan risiko terjadinya penyakit infeksi.

Rumah tangga yang memiliki sanitasi layak menurut Susenas adalah apabila fasilitas sanitasi yang digunakan memenuhi syarat kesehatan, antara lain dilengkapi dengan jenis kloset leher angsa atau plengsengan dengan tutup dan memiliki tempat pembuangan akhir tinja tangki (septic tank) atau Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL), dan merupakan fasilitas buang air besar yang digunakan sendiri atau bersama. Persentase rumah tangga yang memiliki akses sanitasi layak di Indonesia tahun 2017 adalah 67,89%. Provinsi dengan persentase tertinggi adalah DKI Jakarta (91,13%), sedangkan persentase terendah adalah Papua (33,06%)

Dampak stunting dapat dibagi menjadi dampak jangka pendek dan jangka panjang. Dampak Jangka Pendek dapat berupa peningkatan kejadian kesakitan dan kematian;  Perkembangan kognitif, motorik, dan verbal pada anak tidak optimal; dan Peningkatan biaya kesehatan. adapun dampak Jangka Panjang adalah postur tubuh yang tidak optimal saat dewasa (lebih pendek dibandingkan pada umumnya); Meningkatnya risiko obesitas dan penyakit lainnya; Menurunnya kesehatan reproduksi; kapasitas belajar dan performa yang kurang optimal saat masa sekolah; dan Produktivitas dan kapasitas kerja yang tidak optimal.

Upaya Pencegahan Stunting merupakan salah satu target Sustainable Development Goals (SDGs) yang termasuk pada tujuan pembangunan berkelanjutan ke-2 yaitu menghilangkan kelaparan dan segala bentuk malnutrisi pada tahun 2030 serta mencapai ketahanan pangan. Target yang ditetapkan adalah menurunkan angka stunting hingga 40% pada tahun 2025. Untuk mewujudkan hal tersebut, pemerintah menetapkan stunting sebagai salah satu program prioritas melalui Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 39 Tahun 2016 tentang Pedoman Penyelenggaraan Program Indonesia Sehat dengan Pendekatan Keluarga.

Upaya yang dilakukan untuk menurunkan prevalensi stunting di antaranya sebagai berikut: pada Ibu Hamil dan Bersalin, lakukan Intervensi pada 1.000 hari pertama kehidupan; Mengupayakan jaminan mutu ante natal care (ANC) terpadu; Meningkatkan persalinan di fasilitas kesehatan; Menyelenggarakan program pemberian makanan tinggi kalori, protein, dan mikronutrien (TKPM); Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); Pemberantasan kecacingan; Meningkatkan transformasi Kartu Menuju Sehat (KMS) ke dalam Buku KIA; Menyelenggarakan konseling Inisiasi Menyusu Dini (IMD) dan ASI eksklusif; dan Penyuluhan dan pelayanan KB.

Upaya yang dilakukan pada Balita adalah Pemantauan pertumbuhan balita; Menyelenggarakan kegiatan Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk balita; Menyelenggarakan stimulasi dini perkembangan anak; dan Memberikan pelayanan kesehatan yang optimal. Adapun upaya yang harus dilakukan pada anak usia sekolah antara lain dengan melakukan revitalisasi Usaha Kesehatan Sekolah (UKS); Menguatkan kelembagaan Tim Pembina UKS; Menyelenggarakan Program Gizi Anak Sekolah (PROGAS); dan Memberlakukan sekolah sebagai kawasan bebas rokok dan narkoba.

Jika Stunting terjadi pada usia remaja dan dewasa, maka harus dilakukan upaya dengan meningkatkan penyuluhan untuk perilaku hidup bersih dan sehat (PHBS), pola gizi seimbang, tidak merokok, dan mengonsumsi narkoba; dan Pendidikan kesehatan reproduksi. Penyuluhan dan pelayanan keluarga berencana (KB); Deteksi dini penyakit (menular dan tidak menular); dan Meningkatkan penyuluhan untuk PHBS, pola gizi seimbang, tidak merokok/mengonsumsi narkoba.

Mari bersama cegah stunting dengan upaya mandiri di lingkungan keluarga kita, selamat Hari Keluarga Nasional 2021.Salam sehat selalu untuk seluruh keluarga.

references : https://pusdatin.kemkes.go.id/resources/download/pusdatin/buletin/Buletin-Stunting-2018.pdf; rembangkab.go.id; kemkes.go.id

Penulis : Vivit Dinarini Atnasari, S.Farm, A.Pt, pegiat sosial, Ketua KONI Rembang, Ketua Ikatan Wanita Pengusaha Indonesia (IWAPI) Rembang.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here