

Pasca penyerangan Pati oleh tentara Mataram yang dipimpin oleh Tumenggung Wiraguna. Bersamaan dengan tumbangnya Adipati Pragola di Pati, seluruh harta dan perempuan milik Adipati diboyong sebagai rampasan perang Mataram. Termasuk Rara Mendut dan dua dayangnya, Genduk Duku dan Nyai Semangka.
Jauh sebelum perang berkobar antara Pati dan Mataram, Rara Mendut adalah perempuan pantai yang hidup di kampung nelayan Telukcikal, Pantai Utara Jawa bersama keluarga Siwa (paman tuanya). Ia gadis yang gesit dan cekatan, khas perempuan pesisir utara. Namun, karena Adipati Pragola menaruh hati padanya, diboyonglah Rara Mendut ke kadipaten. Belum sempat dijadikan selir, Adipati Pragola yang didesas-desuskan mau memberontak melawan Mataram kemudian dihabisi oleh tentara Tumenggung Wiraguna.
Wiraguna pulang membawa kemenangan dan rampasan perang yang begitu banyaknya. Ketika Raja Mataram menawarkan hadiah untuk jasanya yang sudah membawa kejayaan bagi Mataram, Wiraguna hanya meminta satu perempuan saja untuk jadi selirnya: Rara Mendut. Gadis Pantai Utara yang memikat hatinya. Tentu saja permintaan itu dikabulkan oleh Raja. Bahkan seandainya Wiraguna meminta sepuluh perempuan pun.
Karena Rara Mendut, Genduk Duku, dan Nyai Semangka adalah satu paket, maka boyongnya Rara Mendut ke puri Wiraguna juga disertai oleh dua dayang setianya itu. Tapi, Rara Mendut ternyata menolak Wiraguna mentah-mentah. Bukan karena tumenggung itu sudah tua bangka, tetapi karena hati Rara Mendut sudah tertambat pada seorang pemuda. Pemuda dari Pekalongan. Pranacitra namanya.
Bukan Wiraguna namanya, jika menyerah begitu saja pada penolakan Rara Mendut. Dengan berbagai cara, ia menekan Rara Mendut supaya gadis itu tidak lagi bisa menolaknya. Dipaksanya ia untuk menyetorkan uang harian dari 3 real, kemudian naik menjadi 10 real, sampai 20 real per hari. Semua dilakukan untuk membuat Rara Mendut menyerah. Tapi gadis itu menolak menyerah. Ia berjualan rokok di pasar Bersama dayang-dayangnya untuk mengumpulkan uang “pajak” Wiraguna.
Nyai Ageng, garwa padmi (istri utama) Wiraguna dan sebagian besar selir Wiraguna awalnya membenci Mendut, namun lambat laun mereka menaruh iba juga. Sekuat tenaga, mereka membujuk Wiraguna untuk jangan terlalu keras menghadapi Mendut. Tentu saja, nasihat itu tidak didengarkan oleh Wiraguna.
Hingga suatu hari, Rara Mendut memutuskan untuk lari bersama Pranacitra. Wiraguna yang marah, mengerahkan pasukannya untuk mengejar dua orang ini. Sungguh memalukan karena hanya karena perkara satu gadis saja, Wiraguna sampai harus menurunkan pasukan seolah menghadapi musuh besar saja, tetapi harga dirinya yang terluka karena ditolak oleh seorang gadis Pantai Utara yang bukan siapa-siapa membuatnya semakin keras hati.






Visualisasi inilah yang dibawakan oleh dua orang fotomodel dari Kota Rembang Aeni dan Desy dalam gelaran event “waton motret waton njagong” di angkringan Omah Kayu, Sabtu (19/6) silam. Ki Dalang Sigid Ariyanto, owner angkringan omah kayu mengatakan event seperti ini akan digelar rutin setidaknya sebulan sekali. Tidak hanya event fotografi, namun juga videografi, termasuk ketoprak, campur sari dan live music. Bahkan live music akustik telah rutin digelar tiap sabtu malam di angkringan Omah Kayu. Protokol kesehatan berupa pemakaian masker, penggunaan hand sanitizer, pengecekan suhu dan menjaga jarak merupakan protokol wajib yang dijalankan dalam setiap event di angkringan Omah Kayu.
Sigid Ariyanto yang juga dikenal sebagai ketua dewan kesenian Nasdem Rembang menambahkan, totalitas kepeduliannya terhadap rekan-rekan seniman diaktualisasikan melalui kegiatan-kegiatan seni sederhana di angkringan Omah Kayu miliknya. Event motret pada sabtu lalu dihadiri sekira 10 orang fotografer profesional dari Rembang. Event ini terselenggara atas kerjasama Omah Kayu dengan Sanggar Rias dan Make Up Artist “Wantik Rias” dan Profesional Model oleh Aeni dan Desy.
Ditanya mengenai tema visualisasi event, Sigid Ariyanto mengatakan Rara Mendut adalah simbol perempuan kuat dan mandiri dengan jiwa memberontak yang cerdas dari pesisir utara Jawa, karakternya agak nyebal (tidak umum) dari karakter perempuan jawa lain yang biasanya digambarkan lemah lembut dan sering kalah atau mengalah. Kekuatan dan kemandirian serta kecerdasan dalam diri perempuan seperti mendut ini, menjadi pesan yang ingin disampaikan dalam gelaran event fotografi ini.
“Apa hikmah huruf-huruf Jawa? Ditaling ditarung dipepet dipada tetaplah kata dan kalimat berjalan terus. Tetapi bila dipangku, berhentilah segalanya. Mengalahkan lawan jangan dengan pertarungan, dengan pukulan, dengan penjegalan, pencekikan, dan sebagainya. Lawan harus dipangku, dibelai, dicium, begitulah ia akan lemas dan menyerah.” (trilogi rara mendut, buku novel pertama, YB. Mangunwijaya)




Menutup pernyataannya, Sigid Ariyanto mengatakan bahwa muara pesan moral terkuat dalam visualisasi mendut adalah kekuatan cinta dan kesetiaan. Kekuatan cinta mendut dan pranacitra yang digambarkan harus tewas bersama di tangan wiraguna, menggambarkan kuatnya kesetiaan dalam cinta kisah cinta mendut.
Rara Mendut dan Pranacitra tahu apa yang menanti mereka jika pelarian mereka gagal, tapi bagi mereka “kemerdekaan tidak pernah hanya hadiah belaka. Kemerdekaan harimau pun, garuda pun, adalah buah perjuangan kesadaran harga diri”. Sehingga, dengan tersenyum, mereka berdua pun bersiap dengan segara takdir yang menanti mereka di depan mata. “Sebab asmara dapat padam, tetapi kesetiaan mengatasi maut, dan sanggup melagukan gendhing mistika yang berwarta, bahwa Yang Maha Pencipta adalah Mahakuasa sekaligus Mahacinta. Dan cinta berarti setia” (trilogi rara mendut, buku novel pertama, YB. Mangunwijaya).


Source : perempuanmembaca.com; novel trilogi rara mendut, buku pertama, YB. Mangunwijaya; Foto : facebook wantik rias; facebook ae ni; facebook : doel klimiz; excelens photocinema; auranovastudio; kartiniTV; Diolah dan diproduksi oleh redaksi kartinitv.com